Pick Moment Lewat Secangkir Kopi

kopi1-1Hari ini, seperti hari-hari yang lain, saya meminta tolong kepada office boy atau office man ya mengingat usianya yang sudah tua, untuk membelikan saya kopi. Seperti biasa, dia pergi dengan sepedanya dan kembali sambil membawa sekantung plastik kopi. Setelah itu biasanya dia akan menyiapkan secangkir untuk saya, secangkir untuk teman saya dan secangkir untuk dia sendiri. Lalu kami akan duduk bersama sambil ngobrol di sebuah jambo (balai-balai) yang didirikan di depan kantor.

Biasanya dia akan bercerita tentang pengalamannya sewaktu dia menjadi ABK (Anak Buah Kapal) sebuah kapal pesiar dan perjalanannya mengelilingi dunia. Kemudian seperti biasa, dia akan memamerkan kemampuan bahasa dari setiap negara yang pernah didatanginya. Mulai dari bahasa Inggris, bahasa Yunani, bahasa Italia dan berbagai bahasa lagi yang saya sudah lupa. Namun sayangnya dia hanya bisa melafalkan satu kalimat saja yang artinya dalam bahasa Inggris adalah “I Love You”. Mungkin karena tidak ada kerjaan lain di negeri orang, makanya beliau ini lebih baik merayu perempuan-perempuan pelabuhan di negara yang bersangkutan. Kalau sudah begini ceritanya, biasanya saya dan teman saya hanya sibuk mendengarkan dan melontarkan guyonan-guyonan yang membuat kami biasanya akan tertawa bersama.

Sama seperti siang ini, saya, teman saya dan bapak ‘ob’ pun sudah bersiap untuk menghabiskan waktu bersama di balai-balai seperti biasanya. Tanpa ditanya dan disangka-sangka, bapak ‘ob’ itu tiba-tiba berkata,

“Saya jengkel!”

Ketika ditanya mengapa, tanpa ada maksud menjawab, dia melanjutkan umpatannya,

“Kalau tahu bukan anaknya yang buat, lebih baik tadi saya beli di tempat lain”

katanya sambil memandang kopi yang baru diseruputnya. Di kumisnya yang sudah memutih terlihat jejak kopi yang menghitam. Saya bertanya dalam hati,

Apa yang salah dengan kopi ini?

Akhirnya dia menjelaskan. Begini kira-kira katanya,

“Minum kopi kalau tidak enak seperti ini akan membuat saya jengkel. Karena dalam sehari saya minum kopi hanya tiga gelas sehari, saya ingin sekali saat itu adalah saya bisa menikmati kopi yang enak rasanya. Bukan kopi dengan rasa seperti ini.”

Kontan saya terkejut mendengar ini. Seingat saya, rasa kopi di sini sama saja. Tidak ada bedanya. Hanya kadang campuran kopi dan airnya yang berbeda. Kalau di Jawa saya biasa menyebut untuk kopi yang terlalu encer dengan ‘Kopi Sindang – Kopine sitik, wedange sedandang (kopinya sedikit airnya sedandang)’. Benar saja, ketika saya seruput, saya tidak merasakan bedanya dengan kopi saring ala Aceh yang lainnya. Sama saja. Tapi mengapa bapak ‘ob’ ini bisa membedakannya, ya?

Saya pun kemudian berpikir bahwa apa yang diucapkan oleh bapak ‘ob’ itu sebenarnya menarik. Dia merasa kesal jika waktu yang dibuangnya untuk meminum kopi tidak bisa dia nikmati alias ditemani kopi tidak enak. Kalau saya, yaa asal ada kopi, ya ngopi. Apakah menurut saya kopi itu enak atau tidak, itu tidak pernah saya pikirkan. Bapak ‘ob’ ini mempunyai sesuatu yang sangat dihargai, hingga dia harus membuang sebagian waktunya, yaitu saat dia minum kopi. Dan dia tidak ingin waktu ini terbuang dengan percuma sambil menikmati kopi yang rasanya tidak enak. Mungkin dari pengalamannya selama ini, dia menganggap minum kopi adalah pick moment of the day-nya beliau. Walaupun hanya sekedar minum kopi yang menjadi pick moment of the day-nya beliau, tapi saya menjadi lebih kagum lagi atas dirinya dan pengalamannya, selain telah menjelajahi dunia ketika masih jadi ABK dulu.

Wah terima kasih bapak ‘ob’, anda telah membuka penglihatan saya menjadi lebih terang. Dengan bertanya,

“Lalu apa yang menjadi pick moment saya?”
Jangan-jangan belum ada. Atau lebih bagus lagi belum menyadarinya.

Sekali lagi terima kasih, bapak ‘ob’.

Lelaki di Depan Televisi

lelaki itu masih sering termenung di depan televisi
menanti kabar siapa pemenang kursi
kadang dia tersenyum menyaksikan jalanan berwarnawarni
kadang dia memegang jantungnya melihat kampanye si penyanyi
suatu hari lelaki itu menutup mukanya dengan tudung saji
takut setengah mati
melihat mulut yang bersuara tentang hati nurani
katanya dalam hati:
“asal jangan dia sang pemenang kursi”

Bireuen, 15 Mei ‘09
.adb.

Bangkai

masih ada sisa bangkai anjing merangkaki tulang belakang menyesap cepat dalam kesadaran/bangkai kurban pesta/entah berapa lama terkubur dalam adonan bubur yang menyisa di liang dubur/tak pernah diseka karena memang tak mau.
kini bangkai itu menyesaki kepala dengan gonggongan paraunya/mengingatkan tentang kejadian siang itu /tapi si pembunuh malah bersiap menjadi presiden.

Bireuen, 17 Mei ‘09
.adb.

Femininkah?

Suatu hari beberapa tahun yang lalu, saya terlibat sebuah diskusi dengan beberapa teman kelompok pecinta alam. Namanya RAKATA Adventure. Saat itu wacana dimulai dengan sebuah cerita tentang sebuah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bahwa kegiatan alam terbuka (hiking, rafting dan lain sebagainya) didasari oleh aktifitas yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan. Dengan kata lain, kegiatan alam bebas itu merupakan sebuah kegiatan yang feminin.

Pada saat itu yang saya ingat, kami tidak berdebat tentang benar atau tidaknya pemikiran tersebut. Walaupun ada seorang anggota diskusi yang sangat tidak sepakat dengan hal itu. Kami dalam diskusi tersebut lebih mencari sudut pandang yang digunakan oleh peneliti ini. Mungkin pertanyaannya adalah mengapa peneliti ini lebih melihat sudut pandang gender dalam sebuah kegiatan alam bebas? Bukankah penggiat alam bebas tidak pernah terbatas pada salah satu gender saja? Karena saya, yang juga pernah sebagai penggiat alam bebas, sering juga melakukan sebuah perjalanan ke gunung atau hutan bersama dengan teman yang lintas gender.

Tapi selalu ada kemungkinan bahwa bukan seperti itu yang dimaksud dalam penelitian itu. Entah apa, tapi kami coba menganalisa berdasarkan pengalaman kami melakukan perjalanan. Dan hasilnya sangatlah menakjubkan! Setelah kami mengingat setiap perjalanan kami, memang semua kegiatan yang kami lakukan tidak lebih dari kegiatan yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan.

Pertama, mulai sejak packing, saya tidak pernah melakukan packing ini seadanya. Artinya saya akan mencoba serapih mungkin untuk memasukkan barang yang akan saya bawa, mulai dari pakaian (saya lipat rapih tentunya), kemudian logistik (saya susun dengan rapih dalam carrier saya). Kalau perlu semua barang yang saya bawa itu saya masukkan dalam kantong plastik. Sebuah kegiatan yang tidak pernah saya lakukan ketika saya tidak sedang mempersiapkan sebuah kegiatan alam bebas. Dengan kata lain, saya tidak pernah melakukan itu di rumah.

Kedua, ketika melakukan istirahat, kami membuka tenda dan mengatur tenda itu sedemikian rupa sehingga rapih sekali. Saya ingat, biasanya saya dan teman-teman seperjalanan akan mengatur sedemikian rupa tenda bagian dalam agar tidak terlalu berantakan. Semua tas yang kami bawa ditumpuk berjajar di pinggiran tenda atau bahkan di bagian luar tenda. Kalaupun ada tas yang harus masuk tenda, tas tersebut akan kami atur agar rapih. Pernah satu ketika dalam suatu perjalanan, kami diguyur hujan lebat. Dan ketika tenda telah berdiri di atas tanah basah, setiap orang yang ingin masuk tenda harus mengeringkan dahulu kakinya agar lantai tenda tidak basah.

Ketiga, yang pasti kami lakukan adalah masak. Kegiatan masak ini termasuk menyiapkan peralatan masak, menyiapkan bahan untuk dimasak, memasak itu sendiri dan mencuci serta membersihkan peralatan masak. Ternyata kami semua yang ada dalam diskusi ini mengaku jarang sekali melakukan hal-hal ini. Dan ternyata kebanyakan kami lakukan ketika dalam sebuah perjalanan ke alam.

Keempat, hal ini diyakini dan dirasakan oleh semua orang dalam diskusi tersebut adalah keinginan kami untuk fashion show. Bagaimana bisa? Saat saya siap untuk berangkat, tentunya dengan tas besar, pakaian a la ‘anak gunung’, bahkan ikat kepala atau slayer yang melingkari kepala kami, bahkan ada yang menggunakan topi rimba dan pernak-pernik lain a la ‘anak gunung’ yang jarang kami pakai pada hari biasa. Pada saat itulah kami semua mengakui bahwa kami merasa orang paling keren di jalan yang kami lewati. Kami merasa bahwa kami menjadi pusat perhatian dan kami bangga dengan itu. Sama bukan dengan para model yang berjalan di catwalk untuk memamerkan pakaian yang sedang dikenakannya. Dan sekali lagi kebanyakan dari para model itu adalah perempuan bukan?

“Wah ternyata benar sekali bahwa semua kegiatan di alam bebas itu berbasis pada kegiatan yang feminin yaa.”

Kami semua akhirnya menemukan kesimpulan bersama sambil tertawa-tawa. Menyadari semua perasaan lucu yang muncul ketika kami mulai bercerita tentang pengalaman kami di alam bebas.