Hari ini, seperti hari-hari yang lain, saya meminta tolong kepada office boy atau office man ya mengingat usianya yang sudah tua, untuk membelikan saya kopi. Seperti biasa, dia pergi dengan sepedanya dan kembali sambil membawa sekantung plastik kopi. Setelah itu biasanya dia akan menyiapkan secangkir untuk saya, secangkir untuk teman saya dan secangkir untuk dia sendiri. Lalu kami akan duduk bersama sambil ngobrol di sebuah jambo (balai-balai) yang didirikan di depan kantor.
Biasanya dia akan bercerita tentang pengalamannya sewaktu dia menjadi ABK (Anak Buah Kapal) sebuah kapal pesiar dan perjalanannya mengelilingi dunia. Kemudian seperti biasa, dia akan memamerkan kemampuan bahasa dari setiap negara yang pernah didatanginya. Mulai dari bahasa Inggris, bahasa Yunani, bahasa Italia dan berbagai bahasa lagi yang saya sudah lupa. Namun sayangnya dia hanya bisa melafalkan satu kalimat saja yang artinya dalam bahasa Inggris adalah “I Love You”. Mungkin karena tidak ada kerjaan lain di negeri orang, makanya beliau ini lebih baik merayu perempuan-perempuan pelabuhan di negara yang bersangkutan. Kalau sudah begini ceritanya, biasanya saya dan teman saya hanya sibuk mendengarkan dan melontarkan guyonan-guyonan yang membuat kami biasanya akan tertawa bersama.
Sama seperti siang ini, saya, teman saya dan bapak ‘ob’ pun sudah bersiap untuk menghabiskan waktu bersama di balai-balai seperti biasanya. Tanpa ditanya dan disangka-sangka, bapak ‘ob’ itu tiba-tiba berkata,
“Saya jengkel!”
Ketika ditanya mengapa, tanpa ada maksud menjawab, dia melanjutkan umpatannya,
“Kalau tahu bukan anaknya yang buat, lebih baik tadi saya beli di tempat lain”
katanya sambil memandang kopi yang baru diseruputnya. Di kumisnya yang sudah memutih terlihat jejak kopi yang menghitam. Saya bertanya dalam hati,
Apa yang salah dengan kopi ini?
Akhirnya dia menjelaskan. Begini kira-kira katanya,
“Minum kopi kalau tidak enak seperti ini akan membuat saya jengkel. Karena dalam sehari saya minum kopi hanya tiga gelas sehari, saya ingin sekali saat itu adalah saya bisa menikmati kopi yang enak rasanya. Bukan kopi dengan rasa seperti ini.”
Kontan saya terkejut mendengar ini. Seingat saya, rasa kopi di sini sama saja. Tidak ada bedanya. Hanya kadang campuran kopi dan airnya yang berbeda. Kalau di Jawa saya biasa menyebut untuk kopi yang terlalu encer dengan ‘Kopi Sindang – Kopine sitik, wedange sedandang (kopinya sedikit airnya sedandang)’. Benar saja, ketika saya seruput, saya tidak merasakan bedanya dengan kopi saring ala Aceh yang lainnya. Sama saja. Tapi mengapa bapak ‘ob’ ini bisa membedakannya, ya?
Saya pun kemudian berpikir bahwa apa yang diucapkan oleh bapak ‘ob’ itu sebenarnya menarik. Dia merasa kesal jika waktu yang dibuangnya untuk meminum kopi tidak bisa dia nikmati alias ditemani kopi tidak enak. Kalau saya, yaa asal ada kopi, ya ngopi. Apakah menurut saya kopi itu enak atau tidak, itu tidak pernah saya pikirkan. Bapak ‘ob’ ini mempunyai sesuatu yang sangat dihargai, hingga dia harus membuang sebagian waktunya, yaitu saat dia minum kopi. Dan dia tidak ingin waktu ini terbuang dengan percuma sambil menikmati kopi yang rasanya tidak enak. Mungkin dari pengalamannya selama ini, dia menganggap minum kopi adalah pick moment of the day-nya beliau. Walaupun hanya sekedar minum kopi yang menjadi pick moment of the day-nya beliau, tapi saya menjadi lebih kagum lagi atas dirinya dan pengalamannya, selain telah menjelajahi dunia ketika masih jadi ABK dulu.
Wah terima kasih bapak ‘ob’, anda telah membuka penglihatan saya menjadi lebih terang. Dengan bertanya,
“Lalu apa yang menjadi pick moment saya?”
Jangan-jangan belum ada. Atau lebih bagus lagi belum menyadarinya.
Sekali lagi terima kasih, bapak ‘ob’.